GORAJUARA - Mengajari shalat pada murid harus lihat perkembangan kodrat keadaannya. Manusia menurut Ki Hadjar Dewantara dipengaruhi oleh kodrat keadaan, alam, dan zaman.
Mengajarkan shalat pada murid PAUD, SD, SMP, mungkin cukup dengan mengatakan, shalat adalah kewajiban. Namun untuk murid SMA/SMK, pengetahuan itu tidak cukup.
Perkembangan psikologi murid SMA/SMK sudah pada tahap berpikir abstrak, bisa memahami konsep secara kritis. Murid yang sudah berpikir abstrak sudah mulai bertindak berdasar nalar.
Baca Juga: Ternyata Ziqra Adhi Penyiar Radio Ardan Bandung, Masih Anak Sekolah
Mengajari shalat untuk murid SMA/SMK harus diikuti dengan penjelasan nalar, untuk membantu shalat yang mereka lakukan bersumber pada keputusan pribadinya.
Nalar setiap orang bekerja berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan bernalar murid SMA/SMK yang harus dimiliki adalah apa akibat-akibat yang di dapat setelah shalat.
Untuk mengetahui akibat-akibat apa yang di dapat setelah shalat, bisa gunakan penjelasan di dalam Al Quran. Misalnya di dalam Al Quran;
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (Al Jumuah, 10).
Baca Juga: Apa Bedanya Guru Zaman Kolonial Belanda dengan Guru Abad 21
Shalat bisa jadi sebab keberuntungan dalam hidup. Keberuntungan bisa jadi nasib seseorang jika bisa membiasakan disiplin shalat.
Keberuntungan dalam bahasa sehari-hari bisa dalam bentuk pekerjaan, jabatan, kemajuan perusahaan, kelancaran bisnis, tercapai cita-cita, sampai pada dapat pahala surga.
Jika shalat bisa menjadi sebab keberuntungan dunia dan akhirat, maka murid sedikitnya bisa punya motivasi untuk disiplin shalat, dan merasakan dampaknya.
Baca Juga: Membaca Gagasan Gerakan Pilih Guru Sebagai Gerakan Moral
Dengan pemahaman ini, murid dengan sendirinya bisa mandiri melaksanakan shalat karena ada pemahaman yang dimilikinya. Jika hanya mengatakan shalat sebagai kewajiban, bisa jadi efeknya psikologis ke murid bisa jadi pemaksaaan.