GORAJUARA - Seorang pengamat mengatakan “Selama gaji guru belum Rp40 juta - minimal per bulan, maka generasi terbaik tidak akan mau menjadi guru.
Narasi ini masuk akal. Mengapa masuk akal? Karena faktanya, kalau kita tanya di sejumlah ruang kelas dan sekolah terbaik hampir tidak ada anak didik yang mau menjadi guru.
Pilihan mengambil kuliah dan profesi selain guru adalah hak setiap anak didik. Mereka punya mimpi dan masa depan yang ingin lebih baik.
Anak TNI ingin jadi TNI, anak polisi ingin jadi polisi, anak pengusaha ingin jadi pengusaha, anak dokter ingin jadi dokter.
Anak guru? Dominan tidak ingin menjadi guru. Mereka ingin lebih baik dari orangtuanya yang hidup kurang sejahtera.
Apalagi era sebelum ada TPG, hampir semua guru “sengsara” dan tak dapat membiayai anaknya untuk kuliah.
Wajar bila anak-anak guru tak mau jadi guru, apalagi anak-anak selain guru.
Ada beberapa realitas nasib guru yang harus kita cermati dan masih jauh dari ideal.
Pertama kesejahteraan dan perlindungan profesi. Terutama ratusan ribu guru honorer masih jauh dari sejahtera.
Baca Juga: Kini Menikah, Boiyen dan Rully Anggi Akbar Rupanya Teman Lama pada Mulanya: Kenal-kenal...
Selain belum sejahtera, pandangan anak didik, rekan sejawat dan masyarakat menganggap guru honorer sebagai guru kelas 2. Padahal mereka bekerja optimal, finansial minimal.
Kedua, organisasi profesi guru. Terutama organisasi terbesar guru di negeri ini tidak berada dalam kepengurusan guru.