GORAJUARA - Setelah terbit peraturan Menteri, label Guru Penggerak menjadi syarat jadi kepala sekolah bisa kontra produktif.
Seolah-olah untuk menjadi kepala sekolah harus mendapat label Guru Penggerak berdasar SK pemerintah.
Baca Juga: VOB Sampaikan Pesan Atas Meninggalnya Drummer Taylor Hawkins
Padahal hakikat Guru Penggerak adalah ruh yang harus dimiliki oleh semua guru.
Ruh Guru Penggerak tidak perlu memiliki label dari manapun, tetapi harus built in dimiliki setiap guru.
Guru Penggerak cukup menjadi program yang dikembangkan oleh pemerintah tanpa harus memberi labelling pada guru.
Baca Juga: Membaca Pikiran Orang Sumedang Saat Pelantikan DPC Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia
Labeling Guru Penggerak akan melahirkan kelompok guru kontra produktif.
Program Guru Penggerak dibutuhkan untuk pendidikan di abad ini. Semua guru harus sadar bahwa sosok guru di abad 21 adalah guru yang dinamis, literate, kreatif, adaftif dengan kebutuhan zaman.
Program Guru Penggerak adalah jargon untuk membangkitkan kesadaran guru-guru bahwa saatnya harus bangkit.
Baca Juga: Peringati Bandung Lautan Api, Hasan Faozi Tabur Bunga di TMP Cikutra
Melakukan refleksi dan segera melakukan rekonsepsi, redefinisi, metode, pendekatan, tujuan, dan nilai-nilai yang harus diajarkan pada peserta didik.
Fromm (1968) dalam bukunnya 'The Revolution Hope', berkata penyalahgunaan teknologi jika terus menyebar menjadi pola pikir bisa jadi seperti kanker yang mencancam hidup seseorang dan masyarakat.
Sebelumnya Fromm (1964) menjelaskan dua potensi yang ada pada diri manusia yaitu biophilia (pemelihara) dan necrophilia (perusak).
Baca Juga: SMA Negeri 25 Padungdung, Kampanye Selamatkan Iklim
Dalam situasi saat ini, kebebasan yang kebablasan, harapan hampa, upaya standarisasi pola hidup, keyakinan agama yang ekstrim, sangat subur untuk tumbuhnya potensi-potensi manusia perusak, seperti menabur bibit di tanah hutan yang sudah habis terbakar.