GORAJUARA - Ayah dan ibu adalah sumber kebahagiaan anggota keluarga.
Jika keduanya bahagia, akan mengalirkan energi kebahagiaan bagi anggota keluarga yang lain. Demikian pula sebaliknya.
Kondisi pandemi yang berkepanjangan telah menambah beban berat ayah dan ibu sehingga bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental keduanya.
Akibatnya, anak-anakpun ikut terimbas.
Akibat pandemi, kondisi ekonomi sebagian keluarga tidak menentu bahkan sebagian yang lain harus kehilangan pekerjaan.
Ditambah lagi, sekolah daring mengundang keluhan dari banyak ibu karena ketidaksiapan mendampingi anak belajar di rumah.
Tidak aneh, jika Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar merilis data, akibat pandemi Covid-19, pada 2020, jumlah pengidap gangguan jiwa meningkat 20 persen.
Peningkatan jumlah pengidap gangguan jiwa dan mental itu terjadi diduga akibat pandemi berkepanjangan.
Sebelumnya diberitakan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, selama pandemi Covid-19, sekitar 60 persen warga Jabar mengalami berbagai tekanan psikis, seperti kecemasan dan kekhawatiran. (jabar.inews.id, 11/10/2021)
Adapun di Indonesia, sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Ironisnya, sumber daya manusia profesional untuk jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang, Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 7/10/2021)
Kondisi kehidupan yang materialistik saat ini, menjadi beban mental dalam kehidupan, karena segala sesuatu harus didapatkan dengan uang. Makan dan minum harus dengan uang, sekolah pun demikian. Bahkan ke toilet pun harus dengan uang.
Hal ini akan mendorong manusia untuk mengerahkan hidupnya hanya untuk mengejar materi, adapun jiwa seringkali terabaikan.
Selain itu, sistem kapitalistik menjadikan persaingan kehidupan menjadi tidak seimbang antara si kaya dan si miskin.