Padahal, ketika kehidupan dipisahkan dari agama, disinilah awal berbagai problem kehidupan bermunculan. Karena aturan manusia dianggap sebagai alternatif pengganti agama.
Secara rasional, tentu aturan manusia yang berasal dari akal manusia tidak akan mampu mengantarkan kepada kebaikan hakiki bagi manusia. Karena sifatnya yang terbatas, dan memungkinkan terjadi banyak perselisihan dan pertentangan antar manusia.
Adapun Islam, adalah agama yang kafah (sempurna), mengatur seluruh aspek kehidupan, bukan sekedar mengatur ritual.
Ketika Islam memerintahkan melaksanakan salat, juga dituntut untuk menghindarkan diri dari fahsya dan munkar.
Baca Juga: Ayo Buruan Daftar, Jalur SNMPTN 2022 Sudah Dibuka Jangan Sampai Ketinggalan dan Keliru Memilih Prodi
Demikian pula, ketika dianjurkan berdoa, dituntun pula menjauh dari maksiat agar doa dikabulkan Allah SWT.
Ketika disunnahkan membaca dan menghafal Al-Quran, juga diharuskan untuk beramal benar sesuai tuntunannya, karena ia adalah hudan (petunjuk) bagi manusia.
Oleh karena itu, belajar di majelis taklim seharusnya mampu mengantarkan jamaahnya memiliki pemikiran sekaligus sikap yang islami. Hal ini akan diperoleh manakala mengaji Islam secara menyeluruh.
Ketika Islam difahami dan dilaksanakan secara kafah, di saat itulah peranan agama sebagai pemberi rahmat bagi kehidupan dapat diwujudkan, karena mampu memberi solusi bagi pribadi maupun bangsa, sebagaimana firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."(Q.S. Al-Anbiya:107).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili, saat menjelaskan QS al-Anbiya‘ ayat 107, mengatakan, “Artinya, Kami tidaklah mengutus kamu, wahai Muhammad, dengan syariah al-Quran, serta petunjuk dan hukum al-Quran, kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam, baik dari kalangan jin dan manusia di kehidupan dunia dan akhirat. Siapa saja yang menerima rahmat ini, dan mensyukuri nikmat ini, maka ia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menolak dan mengingkarinya, maka ia merugi di dunia dan akhirat.” (Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, QS al-Anbiya‘ (21):107).***
Penulis: Siti Susanti, S.Pd.,