GORAJUARA,- Selasa, 26 Juli 2022 adalah peringatan seabad lahirnya Chairil Anwar, Si Binatang Jalang, Si Kutu Buku. Namun, dalam sejarah sastra Indonesia, peringatan lahirnya Chairil Anwar nyaris tak dirayakan, yang dirayakan dengan festival/seminar sastra justru tanggal kematiannya, setiap 28 April 1949.
Tidak terlalu penting memersoalkan perayaan kelahiran dan kematian, karena bagi Chairil Anwar keduanya mesti diberi tempat dan harus dicatet, sebagaimana dituangkan dalam puisi Catetan Th. 1946.
Sebagai tokoh puisi Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia, nama Chairil Anwar layak disandingkan dengan Bung Karno sesama tokoh pendobrak.
Bung Karno mendobrak dengan gerakan politik memerdekakan bangsanya dengan mahakarya Proklamasi yang ditulis di atas kertas dengan konsep penuh coretan pertanda pilihan diksi dalam Proklamasi tidaklah proses sekali jadi.
Bung Karno tampaknya menimbang-nimbang kata yang tepat untuk mewahanai jiwa raga rakyatnya dalam teks Proklamasi.
Begitu pula Chairil Anwar adalah pendobrak dalam penggunaan bahasa Indonesia yang berani melepaskan ikatan diri dari kaidah Pujangga Baru. Ia benar-benar merdeka menggunakan bahasa Indonesia dalam puisi-puisinya, baik puisi orisinalnya maupun puisi sadurannya.
Jiwa merdeka memilih kata seakan mewakili kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno bersama Hatta, pada 17 Agustus 1945, di Jalan Penggangsaan Timur 56 Jakarta.
Mati dalam usia muda (26 tahun, 9 bulan) bagi Chairil Anwar tidak menjadi halangan baginya untuk berkarya besar bagi negeri yang dicintainya. Ia hidup memiskinkan diri di Jakarta meninggalkan kekayaan di kampung halamannya di Medan dengan alasan ayahnya, Toeloes, kawin lagi.
Ia lalu hidup menggelandang di Jakarta bersama ibunya, Saleha. Namun, dalam petualangannya menggelandang, Chairil seperti tokoh pejuang Kemerdekaan pada umumnya adalah seorang yang kutu buku.
Baca Juga: Profil Lengkap Para Pemain Drama Extraordinary Attorney Woo, Lihat di Bawah Ini
Sejak keluarganya di Medan, Chairil sudah terbiasa membaca buku-buku. Ketika di Jakarta dahaganya akan bacaan tak dapat ditahan.
Chairil bertahan hidup memenuhi kebutuhan membacanya dengan mencuri. Bahkan menurut Asrul Sani, “Suatu hari Chairil pernah mengajak Asrul mencuri buku filsafat di toko buku terbesar bernama Van Dorp, yang dikenal menjual buku-buku bagus pada zamannya”.
Petualangannya dengan dunia bacaan bermutu kelas dunia berbekal pendidikan SMP bagi Chairil adalah pertanda pembelajar literat untuk memenuhi santapan batin bagi bangsa yang dicintainya dengan menulis sejumlah puisi asli dan beberapa puisi saduran.
Melalui puisilah, Chairil menghargai dan memuliakan bangsa dan tokoh bangsa sekelas Bung Karno, Bung Hatta, dan Syahrir, seperti terlukis dalam puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” dan puisi “Krawang Bekasi ”.
Baca Juga: Sakit Hati! Ivan Gunawan Singgung Performa Keisya Levronka: Kalo Kurang Enak Badan, Lo Lipsync...
Dalam puisi “Persetujuan dengan Bung Karno”, Chairil menulis ajakan, “Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji”, sedangkan dalam puisi “Krawang Bekasi”, Chairil hendak mengenang para pendiri bangsa.
...
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Begitulah Chairil yang berjuluk si binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang dalam puisi terkenalnya, “Aku”.
Kejalangannya dan kebinalannya menggelandang telah menemukan diksi-diksi yang memerdekakan pikirannya dari cengkraman penjajah berkat kesuntukkannya bersetia dengan buku-buku.