GORAJUARA - Pesta Kesenian Bali (PKB) adalah ruang kelas alternatif bagi para pelajar, pejabat, seniman, dan inletektual, untuk memberikan apresiasi terhadap pesta sebulan penuh pada masa liburan sekolah.
Bagi pelajar/mahasiswa, PKB dapat menjadi ajang temu kangen/reuni sambil berekreasi dengan teman-teman seangkatan, dari sekolah yang berbeda, lebih-lebih masa pandemic, yang sarat dengan pembatasan. Bagi pejabat, PKB menjadi ajang untuk menyapa dan mendekati rakyat seraya berekreasi.
Bagi seniman, PKB menyediakan panggung pementasan dan pameran karya yang dapat ditonton oleh masyarakat luas. Bagi inteletuaal, PKB dapat memanfaatkan berbagai kegiatan sarasehan untuk berloborasi dengan intelektual dari daerah lain.
Baca Juga: Toprak Razgatlioglu Uji Coba Motor Yamaha yang digunakan Pembalap MotoGP. Ini Komentarnya
PKB telah memasuki tahun ke-44, pada 2022. Dimulai pada 1979 saat gubernur Bali dijabat Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Tradisi PKB terus berlanjut walaupun telah terjadi empat kali pergantian gubernur, setelahnya yaitu Prof. dr. Ida Bagus Oka, Dewa Made Berata, Made Mangku Pastika, dan Wayan Koster.
Ini menandakan penerus Prof. Dr. Ida Bagus Mantra konsisten menjaga pola ilmiah pokok pembangunan Bali berbasis Kebudayaan, yang simplifikasi melalui PKB.
Paling tidak ada tiga makna penting yang dapat dipetik dari konsistensi penyelenggaraan PKB yang kini telah memasuki tahun ke-44 dan enam tahun lagi genap setengah abad.
Baca Juga: Fakta Menarik One Piece: 5 Tokoh Angkatan Laut yang Paling Ditakuti Bajak Laut
Pertama, Prof. Mantra telah berhasil meletakkan pondasi pembangunan Bali dengan landasan kebudayaan yang kuat. Beliau berhasil memupuk, menyuburkan, dan mengembangkan semangat menggali ke dalam diri manusia Bali. Bercocok tanam di dalam diri. “Karang awake tandurin” kata Ida Pedanda Made Sidemen, dalam geguritan Selampah Laku.
Penguatan ke dalam berhasil dilakukan lalu divibrasikan ke luar untuk menyapa kembali rakyatnya dan dunia yang tanpa tepi pada era digital kini. Ini sejalan dengan teori konvergensi dalam trikon-nya Ki Hadjar Dewantara yang terbuka menerima pengaruh luar, tetapi tetap kuat ke dalam. Inilah yang disebut berkepribadian dalam kebudayaan menurut ajaran Trisaktinya Bung Karno.
Kedua, sebagai gubernur Bali ke-6, Prof. Mantra (1928 – 1995) berhasil melakukan uji publik terhadap keilmuannya sekaligus menepis anggapan sosok intelektual di menara gading yang tidak membumi.
Baca Juga: Ridwan Kamil Meminta Masyarakat Untuk Menjaga Adab Saat Berziarah Ke Makam Eril
Bidang kebudayaan yang diperdalamnya menempatkan dirinya sosok manusia Bali yang komprehensif dalam memformulasikan konsep ajeg Bali, yang muncul setelah 7 tahun kepergiannya dalam usia 67 tahun. Ia berhasil menyatukan berbagai gagasan besar dunia untuk dimekarkan di Bali.