GORAJUARA,- Penggunaan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector kembali banyak disebut-sebut menyusul penanganan kasus pembunuhan Brigadir J.
Dua tersangka dalam kasus ini Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, melakukan uji polygraph menggunakan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector, meski hasilnya tidak juga diumumkan ke publik.
Seperti diketahui, Timsus Polri telah merampungkan pemeriksaan memakai alat pendeteksi kebohongan atau lie detector terhadap tersangka Putri Candrawathi, istri mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Baca Juga: Naskah atau Teks Amanat Pembina Upacara Hari Senin Singkat Jelas Padat Tentang Kebersihan Sekolah
Adapun hasil akurasi lie detector dianggap pro justitia apabila mencapai 93 persen. "Dengan tingkat akurasi 93 persen itu pro justitia. Kalau di bawah 90 persen itu tidak masuk dalam ranah pro justitia," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo saat jumpa pers di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta.
Dikutip dari hellosehat.com, dalam ranah hukum, penyidik sering menggunakan lie detector atau alat pendeteksi kebohongan guna mengungkap kebenaran yang sesungguhnya dalam beberapa kasus. Kadang, jika seseorang melamar profesi pekerjaan tertentu, lie detector juga diperlukan saat wawancara berlangsung. Kira-kira, bagaimana cara kerja lie detector? Apakah ini efektif untuk menemukan kebenaran?
Apa itu lie detector?
Lie detector (detektor kebohongan) adalah sebuah alat pendeteksi kebohongan pada manusia dengan menggunakan mesin polygraph.
Sementara itu, polygraph adalah perangkat yang mengumpulkan dan memungkinkan analisis respons fisiologis manusia melalui sensor yang secara fisik terhubung ke individu yang diperiksa oleh sistem ini.
Alat ini awalnya ditemukan pada awal tahun 1902. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, lie detector sudah memiliki banyak versi yang lebih modern dan lebih canggih.
Seperti yang Anda ketahui, alat pendeteksi kebohongan juga kerap digunakan dalam proses penyelidikan tindakan kriminal.
Bahkan, penggunaan detektor kebohongan dalam interogasi dan investigasi polisi telah dilakukan sejak tahun 1924.
Namun, hingga kini, alat pendeteksi kebohongan masih kontroversial di kalangan psikolog dan tidak selalu dapat diterima secara hukum.