Guru di Persimpangan Jalan Pariwisata

photo author
- Sabtu, 19 November 2022 | 11:59 WIB
Bantuan Keamanan Desa Adat (Bakamda) dilibatkan sebagai pasukan keamanan berkolaborasi dengan TNI/Polri dalam hajatan G-20 di Bali (15 – 16 November 2022, di Nusa Dua Bali. Lokasi perempatan  Jalan Siligita Nusa Dua, 15/11/2022). (Gorajuara.com/I Nyoman Tingkat)
Bantuan Keamanan Desa Adat (Bakamda) dilibatkan sebagai pasukan keamanan berkolaborasi dengan TNI/Polri dalam hajatan G-20 di Bali (15 – 16 November 2022, di Nusa Dua Bali. Lokasi perempatan Jalan Siligita Nusa Dua, 15/11/2022). (Gorajuara.com/I Nyoman Tingkat)



GORAJUARA - Di tengah viralnya pemberitaan Presidensi G-20 yang berlangsung di Nusa Dua Bali pada 15 – 16 November 2022 dan harapan akan bangkitnya kembali pariwisata Bali pasca Pandemi Covid-19, tiba-tiba saja saya teringat novel Senja di Candi Dasa karya I Gde Aryantha Soethama. Novel ini dinobatkan sebagai novel terbaik Bali Post (1992) dengan judul semula, Pilihanku Guru. Namun, atas pertimbangan ekonomi dan pemasaran, judulnya diubah menjadi Senja di Candi Dasa. Candi Dasa adalah objek pariwisata terkenal di Bali Timur dengan hamparan laut luas nanindah berlatar belakang Nusa Penida di seberang.

Ada kemiripan agenda Presidensi G-20 dengan novel Senja di Candi Dasa terutama soal ekonomi dan bonus pariwisata pasca Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, masyarakat adat seluruh Bali dilibatkan melalui Bantuan Keamanan Desa Adat (Bankamda) berkolaborasi dengan TNI/Polri untuk berpartisipasi menyukseskan G-20. Semua elemen masyarakat bahu-membahu untuk citra Bali aman, G-20 lancar, pariwisata bangkit. Indonesia dikenang. Tetamu mancanegara berdatangan. Begitu pula judul Senja di Candi Dasa dipilih dengan harapan lebih berterima di kalangan pembaca dengan meng-endors Candi Dasa yang terkenal banyak menarik pelancong daripada guru yang sederhana dengan label Umar Bakri seperti dipopulerkan Iwan Fals era 1970-an.

Walaupun demikian, tokoh guru Nengah Diarsa membuktikan diri sebagai agen perubahan di samping agen transformasi budaya. Sebagai agen perubahan, ia berada di garda depan meluruskan kompleksitas persoalan akibat pikiran bengkok masyarakat di lingkungannya sekalipun harus berhadapan dengan keluarga sendiri. Sebagai agen transformasi budaya, ia menjaga dan mewariskan budaya adiluhur kepada generasi berikutnya, yang dibuktikan dengan pengejaran terhadap lukisan Bisma Gugur yang hilang di rumah Bu Rangun sampai tuntas.

Baca Juga: Gerakan Sekolah Membahagiakan

Baca Juga: Hasil Asemen Baldridge Education, Sekolah Harus Bentuk Tim Inovation Center

Walaupun Nengah Diarsa guru yang bekerja keras, ikhlas, dan tuntas, ia sempat berpaling ke dunia pariwisata karena rayuan gombal mantan pacarnya, Putu Suwitri yang menjadi manager di Candi Dasa. Godaan uang dan wanita meluluhkan hatinya, walaupun terasa berat baginya, yang menimbulkan dilemma. Pertama, ia sangat mencintai profesinya sebagai guru lalu berhenti, bukan atas kehendak hatinya, melainkan karena tergoda jabatan (uang) dan wanita. Sularto (2009:xv) menyebut gaji guru sebagai, ”hidup sebulan… dengan gaji sehari”.

Kedua, perjalanan karier guru Nengah Diarsa yang ambivalen, di satu sisi mencitrakan kematangan sosial, di sisi lain menunjukkan kerapuhan emosi dan labil. Labilitas Nengah Diarsa sebagai guru akibat godaan kaum kapitalis merupakan ancaman krisis identitas, antara mengejar uang demi kebutuhan hidup dan memperjuangkan idealism. Inilah yang disebut sosok manusia Bali di persimpangan jalan (Sujana, 1994; Coteau,Wiryatnaya, Darma Putra, 1998).

Kompleksitas persoalan guru dalam novel ini menyajikan interaksi dengan aneka kultur global berbasis pariwisata sebagai katalis. Sangat kontekstual dengan isu kekinian di tengah pemberlakuan Kurikulum Merdeka dalam Penguatan Profil Pelajar Pancasila, khususnya dimensi kebhinekaan global. Interaksi itu berpeluang menjadikan pendidikan sebagai jembatan emas ke arah penghormatan terhadap multikultural dengan guru di garda depan. Hal ini dapat mengantisipasi benturan peradaban pariwisata yang penuh dengan ketergesa-gesaan bersanding dengan profesi guru yang penuh dengan kehati-hatian. Dalil “waktu adalah uang” dalam kebudayaan Barat berhadapan dengan “waktu adalah perhatian” dalam kebudayaan Timur.

Baca Juga: G-20 di Nusa Dua Bali, Pembelajaran Kembali Daring

Baca Juga: Taksu Cinta Diluncurkan di SMAN 2 Kuta Selatan, Bali

Rumitnya persoalan yang dihadapi guru merupakan beban berat yang harus dipikul, di satu sisi menyelamatkan kebudayaan Bali dari gerusan pariwisata yang kian masip, dan mengantisipasi dampak ikutan negatif pariwisata di tengah arus perubahan sosial budaya, di sisi lain. Bali yang sering dilukiskan bagai gadis cantik mulai tercabik-cabik bahkan diperas susunya lalu “diperkosa”.

Nasib guru mirip dengan hilangnya lukisan Gugurnya Bisma yang diandaikan sebagai gadis cantik. Ia selalu diperlukan dipuja dan dipuji dengan Hymne Guru. Begitu halnya Bali, sebagai etalase Indonesia. Aneka pertemuan berskala dunia dihelat di sini, dengan suguhan budaya yang meggetarkan bulu kuduk para delegasi dari berbagai pemimpin kelas dunia saat G-20. Dengan harapan ada kenangan selama di Bali melalui gala dinner : eat, art, and peace. Bali tidak sekadar di persimpangan jalan tetapi menjadi guru bagi pemuliaan aneka perbedaan dalam budaya multikultur sebagai warga dunia. “Seharusnya tidak ada lagi perang di zaman ini” kata Joe Biden, Presiden Amerika Serikat menyindir Perang Rusia-Ukraina.

Begitulah selayaknya novel Senja di Candi Dasa dibaca dalam konteks perhelatan Presidensi G-20 menjelang perayaan HUT PGRI ke-77, 25 November 2022. Harapan kita, sukses G-20 membuat Bali kian bersinar, ekonomi makin berbinar, Indonesia dan Jokowi makin tenar. Ada peran guru di dalamnya. Tentu bukan guru di persimpangan jalan pariwisata.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Buddy Wirawan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membaca SE Mendikdasmen Nomor 14 Tahun 2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:24 WIB