Belajar Toleransi Beragama dari Keluarga

photo author
- Jumat, 12 Agustus 2022 | 22:15 WIB
Upacara Palebon (Ngaben) Jro Istri Tanjung dari Griya Kelodan Taman Sari Sanur dihadiri oleh menantu dan cucu dari Australia yang notabene berbeda agama. (Foto: Gorajuara.com/dok: I Nyoman Tingkat)
Upacara Palebon (Ngaben) Jro Istri Tanjung dari Griya Kelodan Taman Sari Sanur dihadiri oleh menantu dan cucu dari Australia yang notabene berbeda agama. (Foto: Gorajuara.com/dok: I Nyoman Tingkat)

GORAJUARA - Masa kanak-kanak sampai remaja (1960 – 1970) saya habiskan di kota kecil
Klungkung. Saya tinggal dekat rumah nenek di Banjar Meregan, seratus meter di Selatan
Balai Kertha Gosa.

Di kanan kiri belakang rumah nenek disesaki rumah orang-orang Madura yang muslim. Praktis teman-teman saya kebanyakan Muslim. Karena kami Hindu dan mereka Muslim, kami merayakan dua hari raya berbeda. Mereka berlebaran, kami ngegalung (Galungan).

Merayakan Galungan ini juga dinikmatioleh warga Madura itu. Begitu juga kalau Lebaran, kami menunggu kiriman gule dan sate kambing mereka. Jika Galungan, kami yang ngejot ke rumah mereka. Kadang saya yang mengantar kue-kue jotan.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Film Perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang Wajib Ditonton Saat 17 Agustus 2022

Saya bertemu dengan teman-teman sepermainan jika ngejot. Mereka, seperti Hasan, Husen, Oding, Inding, Ismail, senang sekali jika saya berkunjung ke rumah mereka. Rekan-rekan sebaya seperti Sawi, Latif, Sakirun, Abidin, Poniman,Aminah, atau Siti menyongsong kunjungaan saya penuh riang gembira. (Soethama, 2019 : 67).

Kutipan di atas adalah esai Aryantha Soethama berjudul “Berlebaran dan Ngegalung di Klungkung”, dibukukan dalam judul “Selalu Rindu Bali”, diterbitkan percetakan Prasasti Denpasar, 2019.

Jelas sekali, Soethama kecil hingga remaja menikmati indahnya bergaul dengan keceriaan dalam dua hari raya yang berbeda. Mereka menikmati dua hari raya yang berbeda dengan cita rasa  kuliner yang menggoda penuh persaudaraan dan kedamaian. Dua hari raya yang selalu mereka tunggu-tunggu.

Baca Juga: Diminta Perkara Dicabut, Deolipa Yumara Bakal Nuntut Negara

Mereka berbaur tanpa sekat menyongsong hari raya tiba dan berlangsung secara alamiah. Tidak pernah terpikir, perbedaan agama menjadi bumberang yang memecah belah, tetapi selalu mempersatukan dan mendamaikan dengan penuh keceriaan dalam persaudaraan.

Sesuatu yang selalu dirindukan. Pengalaman toleransi beragama yang dialami Aryantha Soetama masa kanak-kanak hingga remaja pada dekade 1960-1970 sangat relevan dengan program Komunitas Sabang – Merauke untuk anak SMP (usia 13 – 15 tahun) yang telah berlangsung sejak 2013 dan Program Kemah Budaya lintas agama.

Inti dari program ini adalah pembauran dalam pergaulan lintas agama, etnik, dan budaya. Dengan memahami perbedaan sejak dini, para siswa yang baru beranjak remaja, disadarkan untuk menjadikan perbedaan sebagai modal mengembangkan inovasi dan kreativitas melalui dialog dan diskusi kritis.

Dengan demikian, akan tumbuh saling pengertian dan pemahaman untuk menghindari mereka dari purbasangka negatif terhadap perbedaan. Pengalaman demikian tampaknya sangat relevan dengan Kurikulum Merdeka dengan semangat merdeka belajar dengan penguatan Profil Pelajar Pancasila (beriman, berakwa, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan berkreativitas).

Baca Juga: 5 Film Tentang Kemerdekaan Indonesia: Cocok Ditonton Saat HUT RI 77 17 Agustus 2022 nanti

Seturut dengan hal itu, memasuki 77 tahun Kemerdekaan RI, tema yang diusung, “Pulih Lebih Cepat, Bangkit lebih Kuat”. Tema itu senada dengan tema HUT Provinsi Bali ke-64, “Pulih Bersama, Tumbuh Bersama, Hidup Bersama, Berkembang Bersama, Kuat Bersama, Manfaat Bersama”.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Mohamad Arief

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membaca SE Mendikdasmen Nomor 14 Tahun 2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:24 WIB