Kepemimpinan Sekolah Berbasis 'Taksu Cinta'

photo author
- Senin, 8 Agustus 2022 | 11:00 WIB
Kepemimpinan berbasis cinta diperkuat dengan kegiatan IHT dengan mendatangkan narasumber sekaligus fasilitator Sekolah Penggerak. Selain mendekatkan kepemimpinan dengan pendidik dan tenaga kependidikan, juga menguatkan literasi dengan semangat Wiweka Jaya Sadhu. (gorajuara.com/I Nyoman Tingkat)
Kepemimpinan berbasis cinta diperkuat dengan kegiatan IHT dengan mendatangkan narasumber sekaligus fasilitator Sekolah Penggerak. Selain mendekatkan kepemimpinan dengan pendidik dan tenaga kependidikan, juga menguatkan literasi dengan semangat Wiweka Jaya Sadhu. (gorajuara.com/I Nyoman Tingkat)

 

GORAJUARA- Sukses sebuah sekolah bergantung pada seberapa besar cinta pemimpin terhadap pekerjaan yang dilakoni. Untuk mewujudkan cinta dalam kepemimpinan pembelajaran, seorang kepala sekolah perlu memahami 8 etos keguruan versi Sinamo (2010 : xiii-xiv). Menurutnya, ada 8 etos keguruan yang perlu dipahami dan diaktualisasikan oleh seorang kepala sekolah dalam memandang profesi guru, yaitu keguruan sebagai rahmat, amanah, panggilan, aktualisasi, ibadah, seni, kehormatan, dan pelayanan.

Puncak etos keguruan adalah pelayanan yang bersinggungan dengan sumber daya manusia (guru, pegawai, siswa) yang beragam karakteristiknya. Oleh karena itu, pekerjaan dalam memartabatkan dan memanusiakan manusia haruslah memekarkan gravitasi kesadaran manusia. Jan Ligthart (1859 – 1916) menyebutkan, “Seluruh pendidikan adalah masalah kasih sayang, kesabaran, dan kebijaksanaan. Dan kesabaran serta kebijaksanaan akan bersemi di dalam iklim kasih sayang” (Duarsa, 1984:154).

Kepemimpinan dengan basis cinta adalah kepemimpinan yang melayani. Hal ini telah dilaksanakan oleh SMA Negeri 2 Kuta Selatan sejak berdiri 3 September 2019. Sesuai dengan Visinya Cerdas, berbudaya, dan berdaya saing dengan motto Wiweka Jaya Sadhu (arif bikjaksana dalam memenangkan persaingan berdasarkan budaya bangsa). Visi itu dicapai melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler dengan senantiasa berpijak pada adigium : semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru sebagaimana dinyatakan Ki Hadjar Dewantara.

Baca Juga: Meriahkan Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-77 Dengan 17 Link Twibbon Berikut Ini

Baca Juga: Panjat Pinang Antara di Balik Sejarah Kelamnya dan Filosofi yang Mendalam di Baliknya

Namun , pemahaman guru juga masih terbatas terkait dengan bidang tugasnya sehingga sering memunculkan egosektoral yang merugikan pengembangan bakat dan minat siswa. Pemahaman guru tentang 4 kompetensi guru : profesional, pedagogik, sosial, kepribadian tampaknya belum utuh. Guru memahami tugasnya sebatas memenuhi tuntutan jam mengajar minimal 24 jam pelajaran/minggu. Belum optimal berpikir mengembangkan soft skill siswa untuk sadar belajar dan bermakna bagi masa depan.


Keterbatasan itu memicu rasa jengah untuk berbenah mengembangkan pola manajemen sekolah berdasarkan “Taksu Cinta” di SMA Negeri 2 Kuta Selatan. “Taksu Cinta” adalah akronim dari Duta Karakter Siswa Unggul berdasarkan Credibility, Integrity, Norm, Think, dan Apreciation.

Tiga alasan menerapkan manajemen “Taksu Cinta” di SMA Negeri 2 Kuta Selatan. Pertama, terinspirasi dari kearifan lokal Bali dalam berkesenian yang menempatkan seni sebagai persembahan kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berkesenian bagi seniman Bali adalah sarana pemujaan dan penghormatan kepada Hyang Widhi. Puncaknya adalah menerima spirit dari hubungan antara pemuja dengan yang dipuja secara tulus ikhlas. Hasilnya adalah getaran taksu yang terepresentasikan melalui karisma dan wibawa yang membuat penonton takjub (lango).

Baca Juga: Hiroshima Agustus 1945: Film Langka Menggambarkan Keadaan Sebelum Bom Atom Sekutu di Jatuhkan

Baca Juga: Film Pengabdi Setan 2 Communion, Hari Ke Empat Penayangan Capai 2 Juta Penonton, Luar Biasa!

Kedua, banyaknya ekstrakurikuler yang dibuka oleh SMA Negeri 2 Kuta Selatan berpotensi menghasilkan duta-duta siswa unggul berdasarkan bakat dan minatnya. Luarannya tidak melulu diproyeksikan untuk menjadi juara di luar sekolah, tetapi juga untuk Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) sesuai dengan Semangat Kurikulum Merdeka dengan Merdeka Belajar. Ini berhasil bila terjadi harmonisasi dalam olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olahraga dengan pelibatan dan kerjasama seluruh stakeholder.

Ketiga, rumitnya birokrasi pendidikan khususnya persekolahan dengan sumber daya manusia di dalamnya, menuntut kepala seoklah berpikir out of the Box, berpikir dari unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, sebagaimana dikatakan Danim (2005: i) dalam bukunya berjudul Visi Baru Manajemen Sekolah.***

 

Artikel Selanjutnya

Pendidikan Andragogi bagi Guru

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Buddy Wirawan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membaca SE Mendikdasmen Nomor 14 Tahun 2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:24 WIB