GORAJUARA - Sejak Nadiem Makarim menjadi Mendikbud Ristek pada 2019 dalam Kabinet Jokowi Jilid II, Program monumental yang dicanangkan semua berbasis gerakan : Program Guru Penggerak (PGP), Program Sekolah Penggerak (PSP), Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Jika menelisik kata-kata Gerakan, alam pikiran kita terbawa ke era sebelum Indonesia merdeka, saat bangkitnya kesadaran nasional melalui organisasi pergerakan : Budi Utomo (1908).
Ketiga program berbasis gerakan itu diniatkan untuk melaksanakan demokratisasi pendidikan secara adil, inklusif, dan merata tanpa adanya kasta sekolah. Sekolah dengan kemandiriannya diarahkan melaksanakan Kurikulum Merdeka dengan tiga klasifikasi : Mandiri berubah, Mandiri berbagi, dan Mandiri belajar.
Setelah hampir satu semestet Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) bagi sekolah yang mulai menggunakannya sejak 2022/2023, sejumlah sekolah sudah panen raya dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Perayaannya pun ibarat pesta yang menyenangkan sejalan dengan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang berkiblat ke Tamansiswa untuk menghormati dan menghargai tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dengan tiga alasan. Pertama, penanda seabad berdirinya Perguruan Tamansiswa di Yogyakarta (3 Juli 1922 – 3 Juli 2022).
Perguruan inilah yang benar-benar mengartikulasikan kebangkitan nasional melalui lembaga pendidikan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang diperjuangkan adalah kemerdekaan lahir batin anak bangsa. Inspirasi itu hendak dihidupkan dalam Kurikulum Merdeka yang pilotingnya diprioritaskan di PSP. Dalam konteks ini, kebebasan yang dijanjikan adalah kebebasan bertanggungjawab di tengah keberagaman anak negeri dalam kerangka NKRI, dengan penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Kedua, penyebutan lembaga pendidikan sebagai Perguruan Tamansiswa mencitrakan gagasan mendekatkan anak pada alam. Guru tak ubahnya penjaga taman yang memberikan kemerdekaan pada anak untuk bermain menikmati indahnya taman ilmu pengetahuan dengan rekreatif-edukatif. Guru menghamba kepada sang anak, sesuai dengan kodratnya menurut kodrat alam dan kodrat zamannya. Di sini, guru mengajak anak agar belajar menyenangkan, menenangkan, membahagiakan sampai kasmaran belajar (meminjam istilah Pranoto). Menyelam dalam keindahan laut ilmu pengetahuan nanindah permai hingga klangon.
Ketiga, penyebutan Perguruan Tamansiswa juga mencerminkan anekapuspa budaya Nusantara di tengah pergaulan bangsa-bangsa yang di dalam Profil Pelajar Pancasila disebut sebagai berkebhinekaan global. Hal ini sejalan dengan Teori Trikon Ki Hadjar Dewantara : Konsentris, Kontinuitas, dan Konvergensi serta diperkuat oleh Bung Karno dengan Trisaktinya dalam bidang Pendidikan, berkepribadian dalam kebudayaan.
Baca Juga: Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2022 Kembali Dibuka Bagi Mahasiswa Baru dan On Going
Dengan alasan itu, kembali ke Tamansiswa diniatkan untuk menyediakan taman belajar di hati siswa untuk menumbuhkan kesadaran belajar. Pada hakikatnya, pendidikan adalah usaha sadar untuk memanusiakan manusia, hingga sampai pada kesadaran tertinggi, mencapai puncak pengalaman belajar, mengagungkan kebesaran-Nya. Menjadi manusia Pancasila sejati.
Tepat sekali Sanusi Pane mengapresiasi Ki Hadjar Dewantara dengan puisi berjudul “Teratai” sebagai ajakan berziarah ke Tamansiswa meneladani kebersahajaan Ki Hadjar Dewantara menyiapkan generasi emas menyambut seabad Kemerdekaan Indonesia, 2045. Generasi emas adalah generasi yang teguh kukuh dengan tekad kuat ibarat teratai yang akarnya di lumpur tetapi berbahagia berseri di kebun Indonesia karena “Akarnya tumbuh di hati dunia”. Cinta yang tumbuh di hatilah yang membakar semangat cinta tanah air untuk memerdekakan bangsa dari belenggu penjajahan. Penjajahan kini, konteksnya berbeda dan mesti diantisipasi melalui gerakan bersama di sekolah, tidak cukup dengan Gerakan Sekolah Menyenangkan tetapi bermetamorfosis menjadi Gerakan Sekolah Membahagiakan. Salam dan Bahagia.***