GORAJUARA - Sekolah bukan partai politik. Kadang cara berpikir politisi masuk ke sekolah. Berpendapat, mendebat, bertindak, memelihara konflik, dengan tujuan untuk kekuasaan.
Sekolah kadang bukan jadi tempat pendidikan, tapi malah jadi tempat bertarung memperebutkan kekuasaan. Konflik, gontok-gontokkan, kubu-kubuan, seperti di kancah politik.
Akibat terlalu banyak nonton berita politik yang kadang tidak jelas manfaatnya, pola pikir masyarakat terbentuk seperti pola pikir para politisi yang tujuannya cari kekuasaan.
Baca Juga: SMAN 15 Bandung Juara 1 e-Reporting KCD Wilayah VII... Setahun Hasilkan 412 Laporan Kegiatan
Obrolan di warung kopi, pasar, kantor, tempat kerja, sekolah, pemerintahan, kadang bicaranya tentang politik yang tidak jelas manfaatnya.
Seharusnya, pedagang bicaranya ekonomi, pegawai bicaranya kinerja, guru bicara peserta didik, bapak ibu rumah tangga bicaranya tanggung jawab di rumah tangga.
Fakta sekarang, sepertinya seluruh warga negara sudah menjadi anggota partai politik, setiap hari mengomentari kejadian-kejadian politik, padahal bukan anggota partai politik.
Guru tidak boleh berpikir seperti anggota partai politik. Tujuan guru bukan kekuasaan, tetapi mengantarkan peserta didik ke depan pintu gerbang kebahagian hidupnya.
Diskusi, konflik, yang terjadi antar guru bukan karena berkuasa atau tidak, tapi karena sama-sama memperjuangkan nasib peserta didik.
"Tidak ada sekolah yang tidak bermasalah", kata seorang penulis buku berjudul "Sekolah Manusia". Tapi seharusnya sekolah tidak dihuni oleh orang-orang dewasa bermasalah.
Baca Juga: Kisah Inspiratif Guru... Dapat Berkah 500 Juta Selama Mengajar Tidak Pernah Kesiangan...
Sekolah harus dihuni orang-orang dewasa yang sudah ada pada level surti, mengerti keadaan diri sendiri, mengerti keadaan orang lain, dan mengerti perannya sebagai penyelesai masalah.
Cara berpikir para penghuni sekolah adalah pola pikir seorang ayah dan ibu, yang selalu menjadi juru damai, penyejahtera, sekalipun anak-anaknya kadang berbuat melampaui batas.***