“Kemanusiaan menyerukan kita untuk memberikan kedamaian dan kehangatan kepada semua orang yang membutuhkan.”
Baca Juga: Pesona Wisata Rumah Singgah Tuan Kadi, Tempat Peristirahan Sultan Siak Sri Indrapura di Pekanbaru
Tempat pelipur lara
Dibangun antara tahun 1150-an dan 1160-an, dan diberi nama sesuai dengan nama uskup Gaza pada abad ke-5, Saint Porphyrius telah memberikan hiburan bagi generasi-generasi warga Palestina di Gaza, terutama di saat-saat ketakutan.
Kini tangisan anak-anak dan mereka yang putus asa karena terus tinggal di Gaza di bawah pemboman Israel bergema di tempat yang dulunya dipenuhi dengan doa dan nyanyian pujian.
Saat ini, halaman gereja dan koridor menawarkan perlindungan bagi umat Islam dan Kristen.
"Karena perang tidak mengenal agama”, kata Pastor Elias.
George Shabeen, seorang Kristen Palestina dan ayah dari empat anak yang tinggal di gereja bersama keluarganya, mengatakan bahwa mereka tidak punya tempat lain untuk pergi.
“Kami datang ke sini menyelamatkan hidup kami,” katanya seperti dilansir dari Al Jazeera.
Baca Juga: Diisukan Cerai, Putri Anne Didoakan Segera Dapat Suami Baru, Fix Pisah dengan Arya Saloka?
“Pada malam hari, kami berkumpul bersama, Muslim dan Kristen, tua dan muda, dan berdoa untuk keselamatan dan perdamaian.”
Bagi Sobeh, fakta bahwa keluarga-keluarga yang berbeda agama berkumpul di bawah atap gereja di tengah trauma pemboman itu sendiri merupakan sebuah tindakan perlawanan.
“Tujuan Israel adalah menghancurkan komunitas kami dan menggusur kami,” tambahnya, suaranya bergetar.
Baca Juga: Samsung Meluncurkan Produk Terbaru Galaxy S23 FE yang Lebih Banyak Fitur Dari Pendahulunya