Istilah hari naas atau sial yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadist Nabi.
Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”
Baca Juga: Pantai Indrayanti di Yogyakarta, Rasakan Pasir Putih yang Lembut dan Air Laut Biru yang Jernih
Hadist ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas.
Jadi jika dimaknai istilah tesebut artinya bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai.
Jika ditilik dengan keyakinan dan ketetapan Allah sebenarnya hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkin baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan takdir dari Allah SWT.
Dilansir dari NU Online oleh GORAJUARA, menurut pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitab Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-shurur dijelaskan:
Banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah SWT menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.
Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah) dimana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar sebanyak 17 kali lalu surat al-Ikhlas sebanyak 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Nas masing-masing dibaca sekali saja.
Kemudian ketika selesai salam membaca doa, maka Allah SWT dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.
Ada pula pandangan menurut KH. Abdul Kholik Mustaqim menjelaskan para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari naas Rebo Wekasan :
a. Tidak ada nash hadist khusus untuk akhir Rabu bulan Safar, yang ada hanya nash hadist dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadist dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan
b. Tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’ ada anjuran dari sebagian ulama tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.