news

Menolak 'Mati', Kampoeng Radjoet Binong Jati Lakukan Lompatan Ekonomi dengan Digitalisasi

Selasa, 5 April 2022 | 20:30 WIB
Kampoeng Radjoet Binong Jati Lakukan Lompatan Ekonomi dengan Digitalisasi (Foto: Gorajuara.com/Dok. Diskominfo Kota Bandung)

GORAJUARA - Pakaian Rajut yang dulunya identik dengan orang sakit, lanjut usia, atau hanya dipakai di musim dingin, sekarang telah beralih menjadi tren pakaian keseharian.

Mulai dari ciput, kerudung, konektor masker, sweater, cardigan, rok, sampai kaus kaki sudah menjadi produk industri kreatif rajut.

Melihat peluang ini, para perajut di Kampoeng Radjoet Binong Jati Bandung pun membuat produk mereka menjadi lebih variatif. Perlahan tapi pasti, mereka mulai bertumbuh. Namun, di awal pandemi menyerang, Kampoeng Radjoet sempat goyah.

Baca Juga: Kabar Gembira, 100 Persen Lulusan Poltekpar Terserap Industri Hingga Ciptakan Lapangan Kerja

Koordinator Kampoeng Radjoet, Eka Rahmat Jaya membagikan kisah para perajut Binong Jati yang bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Ditemui di rumah produksinya, Eka menceritakan bagaimana perjuangan para perajut di tengah pandemi Covid-19.

Sebagai generasi ketiga yang mewarisi usaha rajut, Eka menyampaikan, sejak tahun 1970-an tempat ini bernama Sentra Rajut.

Namun, rebranding jadi Kampoeng Radjoet pada tahun 2014. Terhitung ada 400 perajut yang bertahan hidup di sini. Saat itu, satu perajut memiliki 10-20 karyawan. Jadi, ada sekitar 4.000 tenaga kerja yang diserap.

Kampoeng Radjoet Binong Jati Lakukan Lompatan Ekonomi dengan Digitalisasi (Foto: Gorajuara.com/Dok. Diskominfo Kota Bandung)

"Perkembangan rajut di masa pandemi memang awal sempat turun. Apalagi ada transformasi digitalisasi ya sejak pandemi, itu terasa banget. Banyak yang kesulitan juga untuk menyesuaikan, terutama dari kalangan yang sudah senior-senior seangkatan bapak saya," ujar Eka.

Dulu, para perajut berjualan kaki lima atau dengan menitipkan melalui jejaring mereka di Pasar Baru dan Tanah Abang. Namun, kini pilihannya hanya ada dua, terus bergerak dan berubah menyesuaikan zaman, atau tetap bertahan dengan cara lama, tapi berujung gulung tikar.

Baca Juga: Juventus Kalah dari Inter Milan, Rabiot: Mereka Menang Karena Dibantu Wasit

"Pas pandemi melonjak, pasar-pasar ini kan pada tutup ya. Kita harus putar otak, akhirnya dicobalah beralih ke digital. Memang sulit, tapi lama-lama jadi bisa baca polanya, yang penting main di konten dan branding," akunya.

"Dari jualan online, usaha saya sendiri saja semasa pandemi minimal Rp1 miliar per bulan. Kalau Kampoeng Radjoet ini bisa lebih berkali lipat karena kita upload juga lewat marketplace," imbuh Eka.

Halaman:

Tags

Terkini