Bukan hanya dari strategi marketing yang mengarah ke digitalisasi, Eka berpendapat, produksi pun harus mulai berkembang menggunakan teknologi berbasis computerized. Sampai saat ini, para pengrajut masih menggunakan mesin yang dijalankan secara manual.
"Sehari itu bisa jadi satu lusin kalau pakai mesin manual. Kalau kita pakai computerized bisa tiga kali lipatnya atau lebih. Tapi tentu SDM-nya harus diupgrade juga. Harus tahu cara mengoperasikan mesin komputer ini," tuturnya di sela-sela suara mesin rajut yang terdengar jelas dari ruang produksi.
Baca Juga: Simak Arti Klitih Sebenarnya, yang Sekarang Jadi Fenomena Kekerasan Jalanan di Yogyakarta
Eka berharap, dengan terdigitalisasi semua kegiatan produksi di Kampoeng Radjoet kedepannya, bisa semakin meramaikan desa Binong Jati. Sehingga semakin banyak pula orang yang datang berwisata dan membeli produk mereka.
"Kalau rajut terus rame, kampung ini juga akan terus keangkat, yang tadinya UMKM itu usaha kecil menengah, jadi usaha kecil milyaran mudah-mudahan ya," harapnya.
Di sini, semua hasil produk para perajut disentralisasi pada satu toko bernama Galeri Kampoeng Radjoet. Toko ini dikelola oleh Eka dan timnya, beserta beberapa mahasiswa magang. Salah satunya Dani, mahasiswa semester 6 Jurusan Administrasi Bisnis Unpar.
Selama empat bulan mereka akan membantu memasarkan produk-produk Kampoeng Radjoet melalui media sosial dan marketplace.
Dani mengaku, selama sebulan mengoptimasi media sosial, pengikut Instagram Kampoeng Radjoet mengalami kenaikan lebih dari 1.000 orang.
Hal ini juga berdampak pada penjualan mereka di marketplace. Dalam sehari, mereka bahkan bisa menjual 1.000 pakaian per hari dengan kisaran harga Rp40.000-Rp150.000.
"Para reseller juga suka minta tambah stok sampai 2.000-5.000 item per bulan. Kang Eka juga kasih kami target, sebulan 10.000 item terjual. Ya alhamdulillah mendekati target, kita bisa 5.000-7.000 item per bulan," kata Dani.
Setelah hampir dua bulan magang di Kampoeng Radjoet, Dani semakin tertarik membantu para perajut untuk lebih melek teknologi dan mengembangkan Binong Jati menjadi desa wisata.
"Ini sebenarnya sudah jadi desa wisata ya. Tapi, memang kita harus terus ajak masyarakat untuk mau membuka diri dan mengembangkan pemikirannya. Supaya desa ini menjadi desa wisata yang lebih layak," tutur Dani.***