Kompleksitas ini muncul dari sifat interaksi yang berbeda antara dua sistem badai.
Pada tahun 2009, ketika Topan Parma dan Melor muncul, Efek Fujiwhara menciptakan tantangan besar bagi para ahli meteorologi dalam upaya memprediksi lintasan dan kekuatan badai tersebut.
Interaksi ini menyebabkan kehancuran yang meluas di Filipina, karena Topan Parma yang lebih lemah tiba-tiba memperoleh kekuatan, mengubah jalurnya, dan bertahan di wilayah Luzon karena interaksinya dengan Topan Melor yang lebih kuat.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Weather and Climate Extremes pada bulan September 2020 mendokumentasikan bahwa topan tersebut menyebabkan beberapa putaran balik dan menyebabkan tiga kali pendaratan di Luzon.
Pada bulan April 2021, kejadian serupa terjadi di Samudera Hindia, ketika Topan Seroja dan Topan Odette berinteraksi di lepas pantai Australia Barat.
Interaksi ini menyebabkan Seroja semakin intensif dan mengadopsi lintasan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum interaksi ini, Seroja telah menyebabkan banjir dan tanah longsor di Indonesia.
Selanjutnya, Seroja mempertahankan kekuatannya dan menyebabkan kerusakan pada 70 persen bangunan di kota resor kecil Kalbarri di Australia.
Baca Juga: Hasil BRI Liga 1: Arema FC 1 - 0 Persikabo 1973, Singo Edan Raih Kemenangan Perdana
Selain itu, kurangnya penelitian dan data historis tentang Efek Fujiwhara menyulitkan lembaga dan pengamat cuaca.
Oleh karena itu, mengevaluasi contoh Efek Fujiwhara dalam jangka waktu yang lama masih tetap menantang. ***