"Di jalan-jalan yang bising, sorak-sorai hampa, Kami terjaga dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir, Dengan mata tertutup oleh debu retorika, Menggali kebebasan di tanah yang tersentuh cuka korupsi."
Bait ini menggambarkan betapa perayaan bisa terasa hampa ketika perubahan nyata tidak terjadi.
"Debu retorika" yang dimaksudkan di sini adalah kata-kata kosong dari para pemimpin yang tidak membawa perbaikan, sementara "cuka korupsi" menggambarkan betapa korupsi telah merusak esensi kemerdekaan.
Pertanyaan Retoris Tentang Makna Kemerdekaan
Puisi ini diakhiri dengan sebuah pertanyaan retoris yang mendalam, "Di tengah denting meriah dan sorak-sorai gelap, Kami bertanya-tanya pada langit yang membisu: Apakah benar ini kemerdekaan yang dijanjikan? Atau hanya ilusi cemerlang di balik cermin retak?"
Baca Juga: KEREN! Pasha Ungu dan Istri Wisuda Bareng dari Universitas Tadulako, Begini Kata Adelia Wilhelmina
Penutup ini menyoroti skeptisisme terhadap kemerdekaan yang dirayakan.
Ada rasa ragu apakah kemerdekaan yang dirayakan ini benar-benar sesuai dengan harapan atau hanya sebuah ilusi yang terdistorsi oleh kenyataan yang ada.
Mengaitkan Puisi dengan Realitas Sosial dan Politik
Puisi karya Jiebon Swadjiwa ini mengajak kita untuk merenungkan kondisi kemerdekaan di Indonesia saat ini.
Meskipun kita merayakan HUT RI ke 79 tahun kemerdekaan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Korupsi, ketidakadilan, dan penindasan masih menjadi masalah yang menghambat tercapainya kemerdekaan yang sesungguhnya.
Jiebon Swadjiwa menggunakan puisi sebagai medium untuk menyampaikan pesan tentang ketimpangan antara janji kemerdekaan dan realitas yang dihadapi oleh rakyat.