“Nah, di sini kami memotivasi, mendorong para guru untuk membuat karya best practice. Alhamdulillah oleh Ibu Kepala Sekolah difasilitasi, karena kalau tidak akan susah berjalan. Kalau saya menggerakan guru-guru atas nama pribadi, mungkin kata guru-guru siapa loe?,” kata Gita sambil tertawa.
Sejatinya seorang guru yang memiliki banyak amal baik, tegas Gita, harus menuliskan pengalaman baiknya untuk berbagi pengalaman, baik kepada guru lain, siswa atau orang tua siswa.
“Karena kan orang tua siswa juga tidak tahu apa yang dilakukan guru. Ketika mereka membaca Best Practice mungkin orang tua siswa akan mengetahui ternyata menjadi seorang guru tidak mudah dan perlu perjuangannya. Kira-kira seperti itulah kenapa guru harus bisa menulis,” ujarnya.
Ternyata anak di rumahnya itu susah dikendalikan, jelas Gita, begitu dia menemukan guru yang tepat jadi terkendali.
Anak yang ternyata tidak memiliki percaya diri, jelasnya, sehingga potensinya tidak berkembang, maka atas dorongan guru dia bisa berkembang, maju dan menjadi seseorang yang sukses dikemudian hari.
“Nah, ini yang harus diketahui oleh masyarakat bahwa guru itu perjuangannya seperti apa? Guru di sekolah itu tidak seperti dosen di Perguruan Tinggi, kalau dosen mungkin sekedar mentransfer ilmu, tetapi guru di TK, SD sampai SMA/SMK, selain transfer ilmu kita juga harus melakukan pembinaan secara karakter dan mental siswa,” ucapnya.
Apalagi anak SMA itu masa-masanya remaja, kata Gita, artinya anak baru gede (ABG) sudah mulai ditinggalkan, mereka sedang menuju ke gerbag kedewsaan.
Eksistensi dirinya ingin diakui, terkadang cara untuk membangkitkan eksisennsinya kurang tepat. Mereka terkadang nakal, padahal sebenarnya bukan nakal, tetapi ingin mencari jati diri, ingin menunjukan aku ini siapa?
Dalam program best practice atau praktik baik, Gita menyebutkan, dirinya membuat sebuah karya dengan judul ‘Pembelajaran Kolabiratif Mengasah Daya Kreatif’.
Pesan dalam tulisan tersebut kaitannya dalam proses belajar mengajar. Ternyata anak-anak itu lebih senang belajar di luar kelas dibandingkan dengan di dalam kelas.
“Nah, Ibu Kepala Sekolah kepada guru memberikan keleluasaan dan mempersilakan untuk membuat model pembelajaran yang menyenangkan, sehingga anak-anak merasa bagja, gembira, bahagia, tidak terbebani dengan mata pelajaran,” pungkas Gita.***