"Yang objeknya itu sendiri adalah tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan dan juga ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan," kata Andri.
Lebih lanjut, Andri mengatakan bahwa objek praperadilan tersebut diperluas melalui Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014.
"Di mana perluasan objek ini menjadi bertambah, yakni mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka," kata dosen Universitas Saburai tersebut.
Selanjutnya, Andri menyebut bahwa praperadilan sudah diatur sejak tahun 1981 lewat adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Andri kemudian menyinggung soal kasus yang pernah menjerat Budi Gunawan pada tahun 2015 silam.
"Menjadi menarik ketika pada tahun 2015 adanya permohonan praperadilan dari Budi Gunawan terkait dengan penetapan tersangkanya oleh penyidik KPK," kata Andri.
Berangkat dari hal tersebut, Andri mengatakan bahwa eksistensi praperadilan mulai naik.
"Dari beberapa daerah mulai banyak dari itu dalam penetapan tersangka, penangkapan, penghentian penyidikan yang mengajukan permohonan praperadilan kepada Pengadilan Negeri," kata Andri.
Terkait dengan proses praperadilan, Andri mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepada manusia.
Baca Juga: Diikuti 250 Anak, bank bjb Gelar Gelar Khitanan Massal
Fungsi hukum sebagai perlindungan menurut Andri tidak dikecualikan dalam proses seseorang yang menjadi tersangka suatu kasus.
"Tersangka juga tetap memiliki haknya sebagai warga negara,
"Di mana apabila ada kecacatan dalam proses peradilan yang disangkakan kepadanya, maka dia bisa melakukan proses praperadilan," kata Andri.