MEDAN, GORAJUARA.com - Jika bicara tentang anak berkebutuhan khusus (ABK) memang agak miris mendengarnya. Sebab mereka masih dianggap sebagai sosok “tidak berdaya” yang perlu dikasihani. Bahkan, sebagai pelajar para ABK ini masuk dalam kelompok yang termarjinalkan.
Anak berkebutuhan khusus dengan segala keterbatasannya semestinya mendapat perlakukan dan pelayanan lebih dari anak normal. Sebab mereka untuk menerima pendidikan saja sangat kesulitan.
Anak berkebutuhan khusus dalam kenyataannya, justru masih ada yang mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan masyarakat, dan mereka tidak perlu bersekolah. Pandangan miring tersebut sungguh tidak manusiawi.
Padahal berdasarkan dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus jelas sudah diatur.
Anak berkebutuhan khusus yang mengalami keterbatasan keluarbiasaaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya layak untuk mendapat pendidikan yang semestinya.
Bertolak dari pandang masyarakat yang melihat anak berkebutuhan khsusus dengan sebelah mata, jika mereka tidak perlu mendapatkan pendidikan, Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumetera Utara, Nuryaningsih, S.Pd.,M.Pd., sangat menentang keras.
Untuk menepis anggapan tersebut, Nuryaningsih di sekolah yang dikelolanya membuat satu program pembelajaran keterampilan guna mengembangkan potensi, bakat dan minat yang dimiliki ABK dengan nyaman, dan menyenangkan.
Menurut Nuryaningsih, pembelajaran keterampilan yang dilakukan di SLBN Angkola Timur, salah satunya untuk merubah image masyarakat, anak berkebutuhan khusus tidak perlu sekolah.
“Solusinya kami memberikannya dengan berbagai keterampilan dengan penanganannya yang menggunakan perspektif anak berkebutuhan khusus,” kata Nuryaningsih kepada Gorajuara.com, Rabu (18/8/2021)
Pandangan ABK tidak perlu sekolah, katanya, itu salah besar. “Kami mencoba membuka cara pandang masyarakat untuk menciptakan pola asuh dan interaksi yang ramah terhadap mereka dengan pembelajaran keterampilan,” tuturnya.
Disebutkan Nuryaningsih, pembelajaran keterampilan yang dikembangkannya guna mendorong siswa ABK bisa mandiri, di antaranya keterampilan tata boga, pembuatan sabun cair, salon marching band, dan nasyid.
Implementasinya, sebut Nuryaningsih, guru berupaya fokus dalam grup discussion, mentoring, dan coasing, serta supervisi akademik. Sedangkan untuk siswa diberikan keterampilan berupa tata boga, pembuatan sabun cair, marching band, dan nasid.
“Keterampilan tata boga, siswa diberikan cara-cara pembuatan kripik, dan hasil produknya dijual di warung-warung tempat pemberhentian bus sekitar sekolah yang sudah melakukan MoU,” ujarnya.
Adapun keterampilan pembuatan sabun cair, bebernya, siswa diberikan pelatihan bagaimana cara membuat sabun cair, memasukkan ke dalam bekas botol air mineral, dan untuk pemasarannya kami titipkan di kedai-kedai.