GORAJUARA - Perceraian menjadi kasus yang marak terjadi pada saat pandemi.
Hal ini karena banyak tekanan yang didapatkan oleh setiap orang, mulai dari tekanan ekonomi, maupun tekanan mental.
Oleh karena itu, kasus 'broken home' pun semakin meningkat seiring dengan peningkatan kasus perceraian.
Bagi anak yang belum mencapai taraf remaja mungkin akan cenderung menyalahkan salah satu orangtuanya, ketika ia mendapatkan tekanan mental karena perceraian ini.
Baca Juga: Demi Amannya PTM Terbatas di Kota Bandung, Sekolah Siap Tes Usap Secara Acak. Ini Mekanismenya
Akan tetapi, bagi anak remaja, perceraian ini bisa lebih mereka pahami karena mereka sudah bisa melihat fenomena sosial yang terjadi di lingkungan keluarganya, dan cenderung memikirkan perasaan orangtuanya apabila mereka tetap bersama.
Namun, secara umum, setiap anak yang orangtuanya bercerai akan mengalami kesedihan.
Banyak anak yang kemudian menutup diri dari lingkungan sosial mereka. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian terjebak pada dunia yang tidak seharusnya.
Ini seperti buah simalakama bagi setiap orangtua. Di satu sisi, ia tidak dapat mempertahankan pernikahannya, di sisi lain, ada anak yang sebenarnya mengharapkan kebersamaan di keluarga.
Baca Juga: Pemerintah Pusat Umumkan Bandung Raya Masih Melaksanakan PPKM Level 3, Ini Alasannya
Lalu, sebagai orangtua, apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan kedua permasalahan ini dalam waktu yang bersamaan?
Hal pertama, jelaskan perlahan kepada anak bahwa orangtuanya akan berpisah.
Anak hanya menginginkan kejelasan mengenai alasan orangtuanya tidak bersama kembali. Maka dari itu, gunakan bahasa anak agar lebih mudah dipahami.
Buat mereka mengerti, bahwa kebersamaan orangtuanya tidak dapat diusahakan kembali.