Pertama, perbuatan zina (Q.S. al-Nisa’ [4]: 15, 19, 22, 25; al-Isra’ [17]: 32; al-Ahzab [33]: 30; al-Thalaq [65]: 1).
Kedua, dosa besar, seperti riba (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 135), tradisi thawaf dengan telanjang bulat pada masa Jahiliyah (Q.S. al-A’raf [7]: 28), menyebar desas-desus tentang kasus perzinahan (Q.S. al-Nur [24]: 19).
Ketiga, homoseksual (Q.S. al-A’raf [7]: 80, al-Naml [27]: 54, al-‘Ankabut [29]: 28).
Sesungguhnya penafsiran kata fahisyah sebagai homoseksual, didasarkan pada tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, yaitu Surat al-A’raf [7]: 80 ditafsiri dengan ayat berikutnya, Surat al-A’raf [7]: 81.
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (Q.S. al-A’raf [7]: 81).
Baca Juga: Beda Agama, Shandy Aulia Kompak Lebaran Bareng Ayah dan Kakak Perempuannya
Selain dilabeli sebagai fahisyah, perilaku kaum Nabi Luth AS disebut sebagai “khaba’its”, bentuk jamak dari khabitsah.
Tepatnya dalam Surat al-Anbiya’ [21]: 74.
Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan-perbuatan khabits (khaba’its). Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 74).
Secara bahasa, Ibn Faris menyimpulkan bahwa pola kata kha’-ba’-tsa’ adalah antonim dari kata thayyib (baik; bagus; bersih; dan sebagainya).
Jadi, khabits berarti “buruk; jelek; kotor; dan sebagainya).
Sedangkan al-Ashfahani mengartikan kata khabits sebagai sesuatu yang dibenci, jelek dan hina, baik secara empiris maupun logis.
Dari sini al-Ashfahani menyebut bahwa kata khabits dijadikan sebagai metonimi (kinayah) dari homoseksual.
Kata khaba’its hanya disebutkan dua kali dalam Al-Qur’an.
Baca Juga: Thomas Cup dan Uber Cup 2022: Tim Bulutangkis Putri Indonesia Diimbau Jangan Lengah Lawan Jerman