2. Rosulullah sendiri mensyukuri atas kelahirannya dan merayakannya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setiap hari Senin.
َعْنأَبِقَتَاَدَةاْلَْنَْصاريَرضَياللهَُعْنهُ،أَنَرُسوَلالله َصلىاللهَُعلَْيهَوَسلَمُسئَلَعْن َصْوميَْوم
الِثْنَْيْ؟ قَاَل: «َذاَك يَْوٌم ُولْد ُت فيه، َويَْوٌم بُعثْ ُت - أَْو أُنْزَل َعلَ َّي فيه -». ( رواه مسلم )
ُِِّ إَّناَّللَّوملائَكتَهيصلوَنعلَىالنَِِّبيَأَيُّهاالذينآمنُواصلوا َعلَيهوسليمواتَسليما
َََ َُُ َ يََ ََ َ ََُْ ْ
Artinya: Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku (H.R. Muslim).
Baca Juga: Go Yoon Jung Akan Beradu Akting dengan Kim Seon Ho di Drama Terbaru ‘Can This Love Be Translated?’
3. Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandanh baik oleh kaum muslimin, ia pun baik di sisi Allah dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.
4. Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global). Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya, karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
5. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan kitabullah, sunah, ijma’, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji. ***