GORAJUARA – Demikianlah Perang Mutah, peperangan yang berlangsung dengan teramat dahsyat. 3000 orang melawan 200.000 orang.
Sesuatu yg tidak masuk akal, tidak rasional, dan bodoh. Di mata manusia. Kenapa pasukan muslim tidak mundur saja? Bukankah ini kebodohan besar? Menyerahkan nyawa pada musuh yang jumlahnya 70 kali lebih banyak?
Namun kekuatan iman berada di atas batas rasional manusia. Kendati beberapa sahabat yang mati syahid, Perang Mutah tetap dimenangkan oleh kaum muslim yang jumlahnya hanya 3000 orang.
Zaid bin Haritsah berperang dengan gagah berani. Menebas puluhan musuh di hadapannya. Sampai kemudian sebatang tombak mengenainya, dan ia pun syahid.
Baca Juga: Perang Mut'ah dan Segala Hal yang Melatarbelakanginya. Simak Baik-Baik!
Dengan sigap, bendera diambil oleh Ja'far. Saudara Ali bin Abi Thalib ini bertempur dengan teramat dahsyat dan di luar batas akal manusia.
Ketika tangan kanannya yg memegang bendera ditebas musuh, ia pindahkan bendera ke tangan kiri. Darah memuncrat deras dari tangan kanannya yang terpotong, namun energinya seperti tak terpengaruh.
Ia bertahan, berusaha melawan dengan tangan kirinya. Sampai kemudian tangan kirinya pun ditebas musuh, dan ia masih mempertahankan bendera di ketiaknya, dengan lengan yang masih tersisa dan darah yang bermuncratan dari kedua tangannya.
Ketika akhirnya Ja'far pun syahid kehabisan darah, Abdullah bin Rawahah mengambil alih bendera tersebut.
Baca Juga: Sejarah Uang Rupiah Sebagai Alat Transaksi yang Sah di Indonesia, Simak Selengkapnya di Sini!
Seperti pendahulunya, ia pun bertempur dengan perkasa, sampai akhirnya gugur, dan peperangan hari itu berakhir.
Malam harinya, pasukan muslim berunding memilih siapa pengganti komandan perang. Tiga komandan pilihan nabi sudah gugur.
Kini mereka harus memilih sendiri pemimpin mereka. Hasil perundingan, dipilihlah Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan muslim esok hari.
Khalid bin Walid, si Pedang Allah pun mengatur strategi perang. Perang ini hampir mustahil dimenangkan.